Translate

Selasa, 19 Februari 2013

Permasalahan, Potensi, dan Arah Pengembangan Agribisnis Komoditas Gandum



Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Gandum merupakan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia. Gandum mempunyai prospek yang sangat besar mengingat luasnya potensi lahan yang dapat ditanami oleh tanaman yang mempunyai kandungan karbohidrat sebesar 70% dan protein sebesar 13% ini (Wibowo, 2009). Indonesia mempunyai potensi lahan untuk pengembangan tanaman serealia non beras ini seluas 73 455 hektar yang tersebar di 15 propinsi (Diperta Jawa Barat, 2010).
Tanaman yang juga berperan sebagai tanaman industri makanan olahan ini mempunyai peran strategis dalam memenuhi kebutuhan tepung terigu masyarakat Indonesia. Saat ini, ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum sangat tinggi. Data dari Aptindo menunjukkan bahwa pada tahun 2010 impor gandum Indonesia mencapai 4.5 juta ton. Wibowo (2009) menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena pengembangan budidaya gandum di Indonesia masih sangat terbatas. Selain itu juga, karena masih kentalnya pameo yang menyebutkan bahwa gandum tidak dapat ditanam di Indonesia karena tanaman tersebut adalah tanaman sub tropis.
Farid (2006) menyatakan bahwa terbatasnya luas dataran tinggi yang banyak ditanami dengan komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis tinggi juga berpengaruh terhadap pengembangan gandum di Indonesia sehingga diperlukan pengembangan gandum yang toleran dataran rendah (< 400 m dpl). Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan gandum di dataran rendah adalah cekaman lingkungan yang sangat tinggi khususnya cekaman suhu tinggi.
Gandum yang diproses menjadi tepung terigu saat ini masih impor, meskipun Indonesia sejak tahun 2004 sudah berhasil mengembangkan gandum lokal secara kontinyu di 8 propinsi dan bahkan pernah diujicoba di 16 propinsi. Sampai tahun 2007 telah ditanam gandum lokal seluas 1.213 ha dengan produktivitas rata-rata 2 ton per ha.
Terigu sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, karena sudah terbiasa mengkonsumsi makanan yang praktis seperti mi, roti, dan lain-lain. Kebutuhan akan tepung terigu terus meningkat, berdasarkan data pada tahun 1990 konsumsi tepung terigu adalah 9.17 kg/kapita/tahun dan pada tahun 2006 sudah mencapai 16 kg/kapita/tahun. Bila laju peningkatan pertumbuhan konsumsi gandum lokal sebesar 10 persen per tahunnya, maka akan terdapat pangsa pasar tambahan sebesar 300.000 ton terigu atau setara dengan 500.000 ton gandum.
Sampai saat ini, kontribusi industri terigu terhadap perekonomian nasional juga pantas untuk diperhitungkan. Nilai penjualan rata-rata per tahun mencapai 6 trilyun. Dari jumlah ini, sektor Usaha Kecil Menegah (UKM) berbasis terigu (industri kecil pembuat roti, mi, kue kering dan lainnya) yang berjumlah sekitar 30 ribu unit UKM, menyerap 64.8 % produk tepung terigu.
Dengan kondisi ini, pengembangan agroindustri tepung terigu lokal memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Industri pengolahan gandum lokal diarahkan kepada pengembangan agroindustri skala kecil atau skala rumah tangga dengan memberdayakan poktan/gapoktan. Untuk itu dibutuhkan dukungan teknologi pengolahan gandum lokal menjadi tepung yang sederhana dan dapat diterapkan dalam skala industri kecil atau industri rumah tangga di pedesaan.
Saat ini teknologi pengolahan gandum lokal yang ada di petani sangat minim dan sederhana sehingga belum menghasilkan produk yang optimal, karena tepung yang dihasilkan masih berupa tepung terigu yang menyertakan seluruh bagian biji gandum. Teknologi yang diterapkan ini menghasilkan tepung dengan warna kecoklatan yang nilai gizinya lebih tinggi, namun kurang diminati konsumen. Pada umumnya konsumen menghendaki tepung terigu yang berwarna putih seperti yang saat ini sudah ada di pasaran.
Pengembangan agroindustri tepung terigu dapat membuka kesempatan kerja lebih luas sekaligus menciptakan nilai tambah di pedesaan, sehingga pengembangan gandum lokal ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan tingkat rumah tangga juga memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan. Peningkatan kualitas dan kuantitas produksi disamping untuk mendorong industri pedesaan juga untuk meningkatkan kontribusi gandum lokal terhadap total konsumsi gandum nasional.


Bab II
ISI
A.   Sejarah Gandum di Indonesia
Tanaman gandum (Triticum spp.) merupakan sejenis tanaman serealia dan masuk ke dalam suku padi-padian yang kaya akan kandungan karbohidrat. Biji-bijian gandum tersebut kemudian diolah terlebih dahulu melalui proses penggilingan untuk menjadi tepung terigu. Selanjutnya, dari tepung terigu tersebut akan diolah lebih lanjut untuk menjadi roti, mie, pasta, kue, dan bahan dasar pembuatan makanan olahan.
Keistimewaan bahan baku yang berasal dari gandum karena tersedia dalam jumlah yang cukup besar, sehingga harganya relatif lebih terjangkau. Sejak tahun 2000 lalu di Indonesia telah dilakukan perintisan tanaman gandum di sejumlah daerah yang iklimnya dianggap cocok. Saat ini di beberapa daerah sudah secara konsisten melakukan budidaya tanaman gandum seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Sayangnya, produksi gandum di dalam negeri jauh dari memadai untuk dapat memenuhi permintaan domestik yang jumlah terus mengalami peningkatan.


Masuknya komoditi biji-bijian gandum ke Indonesia sudah berlangsung jauh sebelum masa kemerdekaan. Para pedagang ataupun saudagar membawanya dari Timur Tengah, Afrika, dan Australia. Biji-bijian gandum dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan mie maupun menjadi bahan baku untuk makanan olahan. Paska kemerdekaan, biji-bijian gandum pun masih harus didatangkan dari luar negeri. Ketika itu paling banyak didatangkan dari Australia, karena lebih dekat dan lebih murah. Hanya saja, konsumsi biji-bijian gandum tidak sebanyak seperti sekarang ini. Beberapa kelompok masyarakat masih menggunakan bahan baku yang berasal dari singkong, talas, atau beras untuk bisa diolah menjadi tepung terigu.
Belum terdapat catatan sejarah yang menyebutkan orang Eropa membawa masuk gandum untuk ditanam di Nusantara. Belanda maupun Portugis sendiri tidak memaksakan atau mengharuskan orang bumi putera untuk harus menanamkan tanaman gandum. Tidak ada catatan sejarah pula yang menyebutkan apabila Nusantara kurang cocok untuk dibudidayakan tanaman gandum oleh Belanda maupun Portugis. Mungkin mereka beranggapan apabila kebutuhan gandum pada masa itu tidak sebesar seperti masa sekarang, sehingga belum dipandang perlu untuk dilakukan uji coba atau budidaya tanaman gandum di bumi Nusantara.
“Gandumisasi” mungkin lebih tepat untuk menyebutkan istilah lain dari masuknya politik gandum di Indonesia. Program tersebut dikenal melalui paket kerjasama ekonomi PL (public law) Nomor 480 atau dituliskan PL480. Kebijakan PL480 merupakan kebijakan pemerintah Amerika Serikat untuk memberikan bantuan pangan kepada negara-negara berkembang melalui berbagai pendekatan seperti lewat negara (“Government to Government” atau G to G), hibah (berupa humanitarian food needs), dan kredit konsesional.
Sayangnya, masuknya biji gandum dari hibah tersebut tidak diimbangi dengan upaya untuk terus melanjutkan pengembangan diversifikasi tanaman pangan. Hingga satu dekade ke depan, komoditi gandum justru menjadi komoditi pangan yang paling digemari (populer) nomor dua setelah beras. Ketika itu pula tidak dipikirkan kemungkinan untuk melakukan suatu percobaan budidaya di dalam negeri, sehingga masuknya biji gandum besar-besaran menyebabkan Indonesia berpotensi menjadi sangat tergantung dari impor di masa depan. Hal ini dikarenakan pula hibah gandum dari Amerika dianggap cukup membantu untuk mengurangi kebutuhan negara akan impor gandum yang didatangkan dari Australia.
Bantuan pangan melalui PL 480 setelah tahun 1969 bertujuan untuk membantu Indonesia mengatasi permasalahan pangan. Seiring dengan berjalannya waktu, Amerika pun menghentikan hibah gandum ke Indonesia. Penghentian tersebut memang telah sesuai dengan kesepakatan yang tercantum di dalam PL 480. Untuk menutupi kebutuhan gandum di dalam negeri dilakukan dengan mengimpor gandum dari Australia maupun Amerika. Saat ini saja, hanya di dua negara itu produksi gandumnya dianggap masih bisa dikategorikan surplus, karena produksi gandum di negeri mereka mampu jauh melampaui konsumsi domestiknya.

B.   Permasalahan Tanaman Gandum
Tanaman gandum (Triticum aestivum L.) sebetulnya dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di Indonesia, terutama di daerah dataran tinggi bersuhu sejuk. Pada zaman Belanda gandum ditanam di beberapa daerah dingin di Jabar, Jateng, Jatim, dan Sumut. Setelah merdeka, litbang gandum mulai dilakukan pada tahun 1969 dan penanamannya terbatas hanya pada daerah dataran tinggi. Sejak itu, diperkenalkan plasma nutfah gandum dari luar negeri di antaranya dari CIMMYT, India, Thailand dan China (Jusuf,2002). Kebijakan pemerintah Orde Baru, yang terlalu fokus pada produksi dan swasembada beras (padi), menyebabkan litbang tanaman pangan lain termasuk gandum menjadi terbatas. Penanaman dan produksi gandum nasional masih sangat rendah bahkan petani masih mengalami kesulitan budidaya terutama menyangkut ketersediaan benih gandum.
Tanaman gandum memerlukan proses vernalisasi (vernalization) yaitu suatu perlakuan dengan suhu rendah untuk merangsang tanaman agar dapat berbunga dan menghasilkan biji. Daerah bersuhu rendah yang berpotensi untuk pertanaman gandum biasanya terdapat di dataran tinggi pada elevasi lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Pengembangan gandum di daerah dingin semacam itu sering menghadapi kendala, terutama dalam hal pesaingan penggunaan lahan dengan tanaman hortikultura (sayuran dan buah-buahan). Selain itu, hambatan juga muncul karena sebagian besar petani belum mengenal budidaya gandum, serta belum ada jaminan pasar untuk produk gandum lokal yang dihasilkan. Kondisi semacam itu membuat budidaya gandum menjadi sulit untuk berkembang. Diharapkan melalui kegiatan penelitian, Indonesia akan dapat mengembangkan gandum yang cocok untuk daerah dataran rendah sehingga pada suatu saat nanti budidaya gandum tidak lagi terbatas hanya di dataran tinggi saja.


C.   Potensi Tanaman Gandum
Pengembangan tanaman gandum tropis di Indonesia perlu dioptimalkan di lahan seluas 2 juta hektare dengan nilai investasi mencapai Rp14 triliun. Kepala Pusat Studi Gandum Indonesia Joko Murdono mengungkapkan perkebunan gandum sangat terbuka dikembangkan di kawasan tropis seperti Indonesia. Namun, hingga kini pengembangan kebun gandum masih sangat lamban. Menurut Joko, kebun gandum yang telah berproduksi baru sekitar 100 hektar dengan kapasitas mencapai 3.000 ton, jauh dari konsumsi industri tepung terigu yang membutuhkan suplai bahan baku hampir 5 juta ton gandum setiap tahun. “Kondisi sekarang masih sangat dini untuk menopang kebutuhan industri. Satu pabrik besar membutuhkan sekitar 1.500 ton per hari yang bisa diperoleh dari 500 ha kebun gandum,” ungkapnya kepada Bisnis hari ini.
Joko menilai pengembangan kebun gandum di dataran rendah perlu didorong karena penanaman gandum di hamparan lahan monokultur di dataran tinggi sangat kompetitif dan lebih diutamakan untuk penanaman hortikultura dan tembakau. “Kalau di dataran tinggi, peluangnya menggunakan pola tumpang sari sehingga pengembangan produksi akan sangat lambat,” jelasnya. Joko berharap pemerintah pemerintah merespons kebutuhan lahan berbasis tanaman gandum lokal. Pemerintah perlu mendorong swasta menanamkan investasi dan memberikan sejumlah insentif termasuk jaminan teknologi untuk menjaga kualitas gandum lokal.
            Uji coba penanaman gandum di Indonesia telah mulai dilakukan sejak 2 tahun terakhir oleh sejumlah produsen tepung terigu. Hanya saja, sebagian besar lokasi pengembangan gandum tropis baru dilakukan  di sejumlah dataran tinggi dan menengah seperti Pengalengan, Dieng, Tengger, Karanganyar, Kopeng Salaran dan Piji Salatiga Jawa Tengah. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu Indonesia Franciscus Welirang mengungkapkan pemerintah perlu mengupayakan tersedianya tepung berbasis tanaman lokal yang telah memenuhi standard Food Grade yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, seru Franciscus, pemerintah dapat menerapkan kenaikan bea masuk terigu hingga 15% agar harga terigu impor dapat ditekan dan biaya dumping dapat dibatasi. Dengan begitu, optimalisasi daya serap gandum lokal untuk kebutuhan industri dapat tercapai. “Maka Industri makanan berbasis tanaman gandum lokal yang digunakan juga akan tumbuh,” katanya. Hingga kini, industri tepung terigu di Indonesia masih sangat mengandalkan bahan baku gandum yang diperoleh melalui mekanisme impor. Franciscus mencatat impor gandum sebagai bahan baku tepung terigu diperkirakan terus meningkat dengan kenaikan pertumbuhan minimal 8% setiap tahun. “Setidaknya, tahun ini akan masuk 6,2 juta ton gandum dari berbagai negara,” jelasnya.
Kebutuhan impor bahan baku gandum sejalan dengan peningkatan konsumsi tepung terigu nasional yang telah mencapai 1,15 juta ton hingga kuartal I tahun ini, naik 5,61% ketimbang periode yang sama tahun lalu sebesar 4,75 juta ton. Kenaikan konsumsi terigu terpacu oleh pertumbuhan industri produk hilir berbasis terigu seperti produsen biskuit, mi instan dan crumbed bread di Indonesia. Pertumbuhan industri juga akan meningkatkan pasar ekspor tepung terigu. “Sampai Maret lalu saja, kapasitas produksi terpasang tepung terigu Indonesia sudah mencapai 7,61 juta ton per tahun,” ujarnya.

D.   Arah Perkembangan Agribisnis Tanaman Gandum di Indonesia
Gandum merupakan komoditi strategis yang dapat menjadi bahan pangan alternatif bagi beras. Gandum memiliki kandungan karbohidrat yang tidak jauh berbeda jika dibanding dengan komoditas serealia lain seperti sorgum, jagung dan beras sedangkan kandungan proteinnya lebih tinggi dari sorgum, jagung dan beras. Bahan pangan dari gandum yang dikenal dengan tepung terigu sudah menjadi sumber bahan pangan alternatif yang merata bagi penduduk Indonesia dari kota sampai ke pelosok desa. Konsumsi gandum di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat disebabkan oleh adanya pertambahan jumlah penduduk dan perubahan pola makan masyarakat yang telah bergeser ke makanan yang berbasis tepung terigu seperti mi instan dan roti. Meskipun gandum dapat menjadi bahan pangan alternatif namun ketersediaannya yang tidak mencukupi justru malah menjadi permasalahan. Hingga saat ini, untuk memenuhi kebutuhan gandum dalam negeri Indonesia mengimpor gandum dari negara lain. Indonesia merupakan negara pengimpor gandum terbesar ke empat di dunia dengan volume impor mencapai 4,9 juta ton pada tahun 2008.
Kondisi tersebut merupakan permasalahan bagi agribisnis gandum di Indonesia, karena konsumsi gandum dalam negeri terus meningkat sementara itu Indonesia sendiri belum mampu memenuhi kebutuhan gandum domestik. Jika volume impor gandum terus meningkat maka hal ini akan dapat semakin mengurangi devisa negara. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia tidak memiliki tanaman gandum meskipun produk olahan gandum sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Saat ini Industri pengolahan gandum di Indonesia telah berkembang. Sementara itu gandum yang diolah merupakan gandum impor. Sejak tahun 2001 pemerintah mulai mengembangkan agribisnis gandum lokal dan banyak penelitian telah membuktikan bahwa tanaman gandum dapat dikembangkan di Indonesia. Gandum yang dihasilkan oleh Indonesia dikenal dengan gandum lokal.
Di sisi lain, permintaan tepung gandum mengalami peningkatan tiap tahunnya, mengingat manfaat sebagai bahan makanan pangan dan bahan baku industri makanan, sehingga telah menciptakan peluang pasar yang sangat luas, baik untuk dipasarkan dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan gandum secara nasional untuk konsumsi nasional tahun 2008 mencapai 3,8 juta ton/tahun dengan laju kenaikan 5%/tahun. Penggunaan gandum hampir 65% diserap oleh industri pangan berskala kecil hingga menengah dan 5% digunakan oleh industri besar dan 30% digunakan skala rumah tangga. Total kebutuhan tepung terigu/tepung gandum setara dengan 4,5 juta hingga 5 juta ton biji gandum yang seluruhnya masih harus diimpor. Impor gandum jumlahnya cukup besar, terutama untuk memenuhi kebutuhan industri makanan yang makin berkembang saat ini.
Meskipun Indonesia baru memulai mengembangkan gandum, tetapi pasar dalam negeri sangat potensial sejak dulu, karena masyarakat Indonesia sudah terbiasa memakan terigu. kebutuhan terigu akan terus meningkat dan volume impor setiap tahun terus meningkat seiring dengan rataan peningkatan penduduk 1,7% per tahun. Unit usaha agro-industri tepung gandum ini dapat menghasilkan tepung gandum 418 Kg per hari. Diharapkan dengan pengembangan produksi bahan baku gandum dapat meningkatkan produksi hasil olahan. Harga jual gandum kering petani pada saat ini berkisar Rp4.000 (KA maksimum 12,5%), sedangkan harga jual tepung gandum di unit usaha Agroindustri tepung Gandum Rp6.500.



Daftar Pustaka

Adnyana, MO, M. Subiksa, N. Argosubekti, L. Hakim dan, M.S. Pabbage. 2006. Prospek dan arah pengembangan agribisnis Gandum, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Dahlan M., Rudjianto, J. Murdianto dan M. Yu-suf. 2003. Usulan Pelepasan Varietas Gandum Balai Penelitian Tanaman Serealia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Pe-nelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. 2008. Laporan Kegiatan Pembinaan dan Pengawalan Agroindustri Berbasis tepung Lokal, Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, Jakarta.
Dinas Perkebunan Kabupaten Bandung. 2009. Laporan Perkembangan Luas Areal dan Produksi Gandum Di Kabupaten Bandung; Bandung. Gittinger, J.P. 1996. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian (Terjemahan). Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Hamdani, M., Sriwidodo, Ismail, dan Marsum M, Dahlan. 2002. Evaluasi galur gandum Introduksi dan CIMMYT. Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional PERIPI. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Nainggolan, E.T., M. Hubeis, dan D. Muchtadi. 2011. Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Silo Jagung di Gapoktan Rido Manah Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Manajemen IKM, Vol. 6 No. 1: p. 1-8.
Saunders, D.A. 1988. Characterization of Tropical Wheat Environments; Identitication of Production Constraints and Progress Achieved in South and South East Asia in Klatt (Ed). Wheat Production Constraints in Tropical Environments (CMMYT) Mexico DF. Pp, 12026.
Subandi, 1999. Perbaikan varietas Dalam Subandi M. Syam dan A. Wijono (Eds) pp: 81-100. Pusitbangtan Bogor. 432 hal.
Suryana, 2005. Arah, Strategi dan Program Pem-bangunan Pertanian 2005-2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Zubir, Z. 2006. Studi Kelayakan Usaha. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia

1 komentar: