Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Gandum merupakan pangan pokok bagi sebagian besar
penduduk dunia. Gandum mempunyai prospek yang sangat besar mengingat luasnya
potensi lahan yang dapat ditanami oleh tanaman yang mempunyai kandungan
karbohidrat sebesar 70% dan protein sebesar 13% ini (Wibowo, 2009). Indonesia
mempunyai potensi lahan untuk pengembangan tanaman serealia non beras ini
seluas 73 455 hektar yang tersebar di 15 propinsi (Diperta Jawa Barat, 2010).
Tanaman
yang juga berperan sebagai tanaman industri makanan olahan ini mempunyai peran
strategis dalam memenuhi kebutuhan tepung terigu masyarakat Indonesia. Saat
ini, ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum sangat tinggi. Data dari
Aptindo menunjukkan bahwa pada tahun 2010 impor gandum Indonesia mencapai 4.5
juta ton. Wibowo (2009) menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena pengembangan
budidaya gandum di Indonesia masih sangat terbatas. Selain itu juga, karena
masih kentalnya pameo yang menyebutkan bahwa gandum tidak dapat ditanam di
Indonesia karena tanaman tersebut adalah tanaman sub tropis.
Farid
(2006) menyatakan bahwa terbatasnya luas dataran tinggi yang banyak ditanami
dengan komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis tinggi juga
berpengaruh terhadap pengembangan gandum di Indonesia sehingga diperlukan
pengembangan gandum yang toleran dataran rendah (< 400 m dpl). Kendala utama
yang dihadapi dalam pengembangan gandum di dataran rendah adalah cekaman
lingkungan yang sangat tinggi khususnya cekaman suhu tinggi.
Gandum yang diproses menjadi tepung terigu saat ini masih
impor, meskipun Indonesia sejak tahun 2004 sudah berhasil mengembangkan gandum
lokal secara kontinyu di 8 propinsi dan bahkan pernah diujicoba di 16 propinsi.
Sampai tahun 2007 telah ditanam gandum lokal seluas 1.213 ha dengan
produktivitas rata-rata 2 ton per ha.
Terigu sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, karena
sudah terbiasa mengkonsumsi makanan yang praktis seperti mi, roti, dan
lain-lain. Kebutuhan akan tepung terigu terus meningkat, berdasarkan data pada
tahun 1990 konsumsi tepung terigu adalah 9.17 kg/kapita/tahun dan pada tahun
2006 sudah mencapai 16 kg/kapita/tahun. Bila laju peningkatan pertumbuhan
konsumsi gandum lokal sebesar 10 persen per tahunnya, maka akan terdapat pangsa
pasar tambahan sebesar 300.000 ton terigu atau setara dengan 500.000 ton
gandum.
Sampai saat ini, kontribusi industri terigu terhadap
perekonomian nasional juga pantas untuk diperhitungkan. Nilai penjualan
rata-rata per tahun mencapai 6 trilyun. Dari jumlah ini, sektor Usaha Kecil
Menegah (UKM) berbasis terigu (industri kecil pembuat roti, mi, kue kering dan
lainnya) yang berjumlah sekitar 30 ribu unit UKM, menyerap 64.8 % produk tepung
terigu.
Dengan kondisi ini, pengembangan agroindustri tepung
terigu lokal memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Industri pengolahan
gandum lokal diarahkan kepada pengembangan agroindustri skala kecil atau skala
rumah tangga dengan memberdayakan poktan/gapoktan. Untuk itu dibutuhkan
dukungan teknologi pengolahan gandum lokal menjadi tepung yang sederhana dan
dapat diterapkan dalam skala industri kecil atau industri rumah tangga di
pedesaan.
Saat
ini teknologi pengolahan gandum lokal yang ada di petani sangat minim dan
sederhana sehingga belum menghasilkan produk yang optimal, karena tepung yang
dihasilkan masih berupa tepung terigu yang menyertakan seluruh bagian biji
gandum. Teknologi yang diterapkan ini menghasilkan tepung dengan warna
kecoklatan yang nilai gizinya lebih tinggi, namun kurang diminati konsumen.
Pada umumnya konsumen menghendaki tepung terigu yang berwarna putih seperti
yang saat ini sudah ada di pasaran.
Pengembangan agroindustri tepung terigu dapat membuka kesempatan kerja
lebih luas sekaligus menciptakan nilai tambah di pedesaan, sehingga
pengembangan gandum lokal ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan tingkat
rumah tangga juga memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan. Peningkatan kualitas dan
kuantitas produksi disamping untuk mendorong industri pedesaan juga untuk
meningkatkan kontribusi gandum lokal terhadap total konsumsi gandum nasional.
Bab II
ISI
A. Sejarah
Gandum di Indonesia
Tanaman gandum (Triticum spp.) merupakan
sejenis tanaman serealia dan masuk ke dalam suku padi-padian yang kaya akan
kandungan karbohidrat. Biji-bijian gandum tersebut kemudian diolah terlebih
dahulu melalui proses penggilingan untuk menjadi tepung terigu. Selanjutnya,
dari tepung terigu tersebut akan diolah lebih lanjut untuk menjadi roti, mie,
pasta, kue, dan bahan dasar pembuatan makanan olahan.
Keistimewaan bahan baku yang berasal dari
gandum karena tersedia dalam jumlah yang cukup besar, sehingga harganya relatif
lebih terjangkau. Sejak tahun 2000 lalu di Indonesia telah dilakukan perintisan
tanaman gandum di sejumlah daerah yang iklimnya
dianggap cocok. Saat ini di beberapa daerah sudah secara konsisten melakukan
budidaya tanaman gandum seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Sayangnya, produksi gandum di dalam negeri
jauh dari memadai untuk dapat memenuhi permintaan domestik yang jumlah terus
mengalami peningkatan.
Masuknya komoditi biji-bijian gandum ke
Indonesia sudah berlangsung jauh sebelum masa kemerdekaan. Para pedagang ataupun
saudagar membawanya dari Timur Tengah, Afrika,
dan Australia. Biji-bijian gandum dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan mie
maupun menjadi bahan baku untuk makanan olahan. Paska kemerdekaan, biji-bijian
gandum pun masih harus didatangkan dari luar negeri. Ketika itu paling banyak
didatangkan dari Australia, karena lebih dekat dan lebih murah. Hanya saja,
konsumsi biji-bijian gandum tidak sebanyak seperti sekarang ini. Beberapa
kelompok masyarakat masih menggunakan bahan baku yang berasal dari singkong,
talas, atau beras untuk bisa diolah menjadi tepung terigu.
Belum terdapat catatan sejarah yang
menyebutkan orang Eropa membawa masuk gandum untuk ditanam di Nusantara.
Belanda maupun Portugis sendiri tidak memaksakan atau mengharuskan orang bumi
putera untuk harus menanamkan tanaman gandum. Tidak ada catatan sejarah pula
yang menyebutkan apabila Nusantara kurang cocok untuk dibudidayakan tanaman
gandum oleh Belanda maupun Portugis. Mungkin mereka beranggapan apabila
kebutuhan gandum pada masa itu tidak sebesar seperti masa sekarang, sehingga
belum dipandang perlu untuk dilakukan uji coba atau budidaya tanaman gandum
di bumi Nusantara.
“Gandumisasi” mungkin lebih tepat untuk
menyebutkan istilah lain dari masuknya politik gandum di Indonesia. Program
tersebut dikenal melalui paket kerjasama ekonomi PL (public law) Nomor 480 atau
dituliskan PL480. Kebijakan PL480 merupakan kebijakan pemerintah Amerika
Serikat untuk memberikan bantuan pangan kepada negara-negara berkembang melalui
berbagai pendekatan seperti lewat negara (“Government to Government” atau G to
G), hibah (berupa humanitarian food needs), dan kredit konsesional.
Sayangnya, masuknya biji gandum dari
hibah tersebut tidak diimbangi dengan upaya untuk terus melanjutkan
pengembangan diversifikasi tanaman pangan. Hingga satu dekade ke depan,
komoditi gandum justru menjadi komoditi pangan yang paling digemari (populer)
nomor dua setelah beras. Ketika itu pula tidak dipikirkan kemungkinan untuk melakukan
suatu percobaan budidaya di dalam negeri, sehingga masuknya biji gandum
besar-besaran menyebabkan Indonesia berpotensi menjadi sangat tergantung dari
impor di masa depan. Hal ini dikarenakan pula hibah gandum dari Amerika
dianggap cukup membantu untuk mengurangi kebutuhan negara akan impor gandum
yang didatangkan dari Australia.
Bantuan pangan melalui PL 480 setelah
tahun 1969 bertujuan untuk membantu Indonesia mengatasi permasalahan pangan.
Seiring dengan berjalannya waktu, Amerika pun menghentikan hibah gandum ke
Indonesia. Penghentian tersebut memang telah sesuai dengan kesepakatan yang
tercantum di dalam PL 480. Untuk menutupi kebutuhan gandum di dalam negeri
dilakukan dengan mengimpor gandum dari Australia maupun Amerika. Saat ini saja,
hanya di dua negara itu produksi gandumnya dianggap masih bisa dikategorikan
surplus, karena produksi gandum di negeri mereka mampu jauh melampaui konsumsi
domestiknya.
B. Permasalahan Tanaman Gandum
Tanaman gandum
(Triticum aestivum L.) sebetulnya dapat tumbuh dan berproduksi dengan
baik di Indonesia, terutama di daerah dataran tinggi bersuhu sejuk. Pada zaman
Belanda gandum ditanam di beberapa daerah dingin di Jabar, Jateng, Jatim, dan Sumut.
Setelah merdeka, litbang gandum mulai dilakukan pada tahun 1969 dan penanamannya
terbatas hanya pada daerah dataran tinggi. Sejak itu, diperkenalkan plasma nutfah
gandum dari luar negeri di antaranya dari CIMMYT, India, Thailand dan China
(Jusuf,2002). Kebijakan pemerintah Orde Baru, yang terlalu fokus pada produksi
dan swasembada beras (padi), menyebabkan litbang tanaman pangan lain termasuk
gandum menjadi terbatas. Penanaman dan produksi gandum nasional masih sangat
rendah bahkan petani masih mengalami kesulitan budidaya terutama menyangkut
ketersediaan benih gandum.
Tanaman gandum memerlukan proses vernalisasi (vernalization)
yaitu suatu perlakuan dengan suhu rendah untuk merangsang tanaman agar dapat
berbunga dan menghasilkan biji. Daerah bersuhu rendah yang berpotensi untuk
pertanaman gandum biasanya terdapat di dataran tinggi pada elevasi lebih dari
1000 meter di atas permukaan laut. Pengembangan gandum di daerah dingin semacam
itu sering menghadapi kendala, terutama dalam hal pesaingan penggunaan lahan
dengan tanaman hortikultura (sayuran dan buah-buahan). Selain itu, hambatan
juga muncul karena sebagian besar petani belum mengenal budidaya gandum, serta
belum ada jaminan pasar untuk produk gandum lokal yang dihasilkan. Kondisi
semacam itu membuat budidaya gandum menjadi sulit untuk berkembang. Diharapkan
melalui kegiatan penelitian, Indonesia akan dapat mengembangkan gandum yang
cocok untuk daerah dataran rendah sehingga pada suatu saat nanti budidaya gandum
tidak lagi terbatas hanya di dataran tinggi saja.
C. Potensi Tanaman Gandum
Pengembangan
tanaman gandum tropis di Indonesia perlu dioptimalkan di lahan seluas 2 juta
hektare dengan nilai investasi mencapai Rp14 triliun. Kepala Pusat Studi Gandum Indonesia
Joko Murdono mengungkapkan perkebunan gandum sangat terbuka dikembangkan di
kawasan tropis seperti Indonesia. Namun, hingga kini pengembangan kebun gandum
masih sangat lamban. Menurut
Joko, kebun gandum yang telah berproduksi baru sekitar 100 hektar dengan
kapasitas mencapai 3.000 ton, jauh dari konsumsi industri tepung terigu yang
membutuhkan suplai bahan baku hampir 5 juta ton gandum setiap tahun. “Kondisi sekarang masih sangat dini
untuk menopang kebutuhan industri. Satu pabrik besar membutuhkan sekitar 1.500
ton per hari yang bisa diperoleh dari 500 ha kebun gandum,” ungkapnya kepada Bisnis
hari ini.
Joko menilai
pengembangan kebun gandum di dataran rendah perlu didorong karena penanaman
gandum di hamparan lahan monokultur di dataran tinggi sangat kompetitif dan
lebih diutamakan untuk penanaman hortikultura dan tembakau. “Kalau di dataran tinggi, peluangnya
menggunakan pola tumpang sari sehingga pengembangan produksi akan sangat
lambat,” jelasnya. Joko
berharap pemerintah pemerintah merespons kebutuhan lahan berbasis tanaman
gandum lokal. Pemerintah perlu mendorong swasta menanamkan investasi dan memberikan
sejumlah insentif termasuk jaminan teknologi untuk menjaga kualitas gandum
lokal.
Uji
coba penanaman gandum di Indonesia telah mulai dilakukan sejak 2 tahun terakhir
oleh sejumlah produsen tepung terigu. Hanya saja, sebagian besar lokasi
pengembangan gandum tropis baru dilakukan di sejumlah dataran tinggi dan
menengah seperti Pengalengan, Dieng, Tengger, Karanganyar, Kopeng Salaran dan
Piji Salatiga Jawa Tengah. Ketua
Umum Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu Indonesia Franciscus Welirang mengungkapkan
pemerintah perlu mengupayakan tersedianya tepung berbasis tanaman lokal yang
telah memenuhi standard Food Grade yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu,
seru Franciscus, pemerintah dapat menerapkan kenaikan bea masuk terigu hingga
15% agar harga terigu impor dapat ditekan dan biaya dumping dapat dibatasi.
Dengan begitu, optimalisasi daya serap gandum lokal untuk kebutuhan industri
dapat tercapai. “Maka
Industri makanan berbasis tanaman gandum lokal yang digunakan juga akan
tumbuh,” katanya. Hingga
kini, industri tepung terigu di Indonesia masih sangat mengandalkan bahan baku
gandum yang diperoleh melalui mekanisme impor. Franciscus mencatat impor gandum
sebagai bahan baku tepung terigu diperkirakan terus meningkat dengan kenaikan
pertumbuhan minimal 8% setiap tahun. “Setidaknya, tahun ini akan masuk
6,2 juta ton gandum dari berbagai negara,” jelasnya.
Kebutuhan impor
bahan baku gandum
sejalan dengan peningkatan konsumsi tepung terigu nasional yang telah mencapai
1,15 juta ton hingga kuartal I tahun ini, naik 5,61% ketimbang periode yang
sama tahun lalu sebesar 4,75 juta ton. Kenaikan konsumsi terigu terpacu
oleh pertumbuhan industri produk hilir berbasis terigu seperti produsen
biskuit, mi instan dan crumbed bread di Indonesia. Pertumbuhan industri
juga akan meningkatkan pasar ekspor tepung terigu. “Sampai Maret lalu saja, kapasitas
produksi terpasang tepung terigu Indonesia sudah mencapai 7,61 juta ton per
tahun,” ujarnya.
D.
Arah Perkembangan Agribisnis Tanaman Gandum di Indonesia
Gandum merupakan komoditi strategis yang dapat menjadi
bahan pangan alternatif bagi beras. Gandum memiliki kandungan karbohidrat yang
tidak jauh berbeda jika dibanding dengan komoditas serealia lain seperti
sorgum, jagung dan beras sedangkan kandungan proteinnya lebih tinggi dari
sorgum, jagung dan beras. Bahan pangan dari gandum yang dikenal dengan tepung
terigu sudah menjadi sumber bahan pangan alternatif yang merata bagi penduduk
Indonesia dari kota sampai ke pelosok desa. Konsumsi gandum di Indonesia dari
tahun ke tahun semakin meningkat disebabkan oleh adanya pertambahan jumlah
penduduk dan perubahan pola makan masyarakat yang telah bergeser ke makanan
yang berbasis tepung terigu seperti mi instan dan roti. Meskipun gandum dapat
menjadi bahan pangan alternatif namun ketersediaannya yang tidak mencukupi
justru malah menjadi permasalahan. Hingga saat ini, untuk memenuhi kebutuhan
gandum dalam negeri Indonesia mengimpor gandum dari negara lain. Indonesia
merupakan negara pengimpor gandum terbesar ke empat di dunia dengan volume
impor mencapai 4,9 juta ton pada tahun 2008.
Kondisi tersebut merupakan permasalahan bagi agribisnis
gandum di Indonesia, karena konsumsi gandum dalam negeri terus meningkat
sementara itu Indonesia sendiri belum mampu memenuhi kebutuhan gandum domestik.
Jika volume impor gandum terus meningkat maka hal ini akan dapat semakin
mengurangi devisa negara. Seperti kita ketahui bahwa Indonesia tidak memiliki
tanaman gandum meskipun produk olahan gandum sudah sangat dikenal oleh
masyarakat Indonesia. Saat ini Industri pengolahan gandum di Indonesia telah
berkembang. Sementara
itu gandum yang diolah merupakan gandum impor. Sejak tahun 2001 pemerintah
mulai mengembangkan
agribisnis gandum lokal dan banyak penelitian telah membuktikan bahwa tanaman
gandum dapat dikembangkan di Indonesia. Gandum yang dihasilkan oleh Indonesia
dikenal dengan gandum lokal.
Di sisi lain, permintaan tepung gandum mengalami
peningkatan tiap tahunnya, mengingat manfaat sebagai bahan makanan pangan dan
bahan baku industri makanan, sehingga telah menciptakan peluang pasar yang
sangat luas, baik untuk dipasarkan dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan
gandum secara nasional untuk konsumsi nasional tahun 2008 mencapai 3,8 juta
ton/tahun dengan laju kenaikan 5%/tahun. Penggunaan gandum hampir 65% diserap
oleh industri pangan berskala kecil hingga menengah dan 5% digunakan oleh
industri besar dan 30% digunakan skala rumah tangga. Total kebutuhan tepung
terigu/tepung gandum setara dengan 4,5 juta hingga 5 juta ton biji gandum yang
seluruhnya masih harus diimpor. Impor gandum jumlahnya cukup besar, terutama
untuk memenuhi kebutuhan industri makanan yang makin berkembang saat ini.
Meskipun Indonesia baru memulai mengembangkan gandum,
tetapi pasar dalam negeri sangat potensial sejak dulu, karena masyarakat
Indonesia sudah terbiasa memakan terigu. kebutuhan terigu akan terus meningkat
dan volume impor setiap tahun terus meningkat seiring dengan rataan peningkatan
penduduk 1,7% per tahun. Unit usaha agro-industri tepung gandum ini dapat
menghasilkan tepung gandum 418 Kg per hari. Diharapkan dengan pengembangan
produksi bahan baku gandum dapat meningkatkan produksi hasil olahan. Harga jual
gandum kering petani pada saat ini berkisar Rp4.000 (KA maksimum 12,5%),
sedangkan harga jual tepung gandum di unit usaha Agroindustri tepung Gandum
Rp6.500.
Daftar Pustaka
Adnyana,
MO, M. Subiksa, N. Argosubekti, L. Hakim dan, M.S. Pabbage. 2006. Prospek dan
arah pengembangan agribisnis Gandum, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian.
Dahlan
M., Rudjianto, J. Murdianto dan M. Yu-suf. 2003. Usulan Pelepasan Varietas
Gandum Balai Penelitian Tanaman Serealia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Badan Pe-nelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen
Pertanian. 2008. Laporan Kegiatan Pembinaan dan Pengawalan Agroindustri
Berbasis tepung Lokal, Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, Jakarta.
Dinas
Perkebunan Kabupaten Bandung. 2009. Laporan Perkembangan Luas Areal dan
Produksi Gandum Di Kabupaten Bandung; Bandung. Gittinger, J.P. 1996. Analisis
Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian (Terjemahan). Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Hamdani,
M., Sriwidodo, Ismail, dan Marsum M, Dahlan. 2002. Evaluasi galur gandum
Introduksi dan CIMMYT. Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional PERIPI.
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Nainggolan,
E.T., M. Hubeis, dan D. Muchtadi. 2011. Kelayakan dan Strategi Pengembangan
Usaha Silo Jagung di Gapoktan Rido Manah Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung.
Manajemen IKM, Vol. 6 No. 1: p. 1-8.
Saunders,
D.A. 1988. Characterization of Tropical Wheat Environments; Identitication of
Production Constraints and Progress Achieved in South and South East Asia in
Klatt (Ed). Wheat Production Constraints in Tropical Environments (CMMYT)
Mexico DF. Pp, 12026.
Subandi,
1999. Perbaikan varietas Dalam Subandi M. Syam dan A. Wijono (Eds) pp: 81-100.
Pusitbangtan Bogor. 432 hal.
Suryana,
2005. Arah, Strategi dan Program Pem-bangunan Pertanian 2005-2009. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Zubir,
Z. 2006. Studi Kelayakan Usaha. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia
wooowww, hebat bangeet kakak
BalasHapus